28.3 C
Bogor

Sertifikasi Performance Marketer: Wajib atau Sekadar Gimmick? Bedah Tuntas Realita HR vs User di Industri Digital

Date:

Share:

Lo pasti sering terjebak dalam dilema klasik ini saat melihat lowongan kerja. Di satu sisi, lo melihat deretan syarat administratif yang panjangnya minta ampun. Mulai dari Sertifikasi Performance Marketer resmi dari Google, Meta Blueprint, sampai sertifikat bootcamp mahal.

Tapi di sisi lain, lo sering mendengar bisikan dari para senior atau praktisi yang sudah makan asam garam industri ini. Mereka bilang kertas itu tidak penting. Yang penting adalah profit, ROAS (Return on Ad Spend), dan kemampuan eksekusi.

Isu ini menjadi sangat krusial dan menyebalkan ketika lo masuk ke proses rekrutmen. Ada fenomena aneh di mana HR (Human Resources) menuntut kelengkapan dokumen dan kemampuan bahasa Inggris setara native speaker. Padahal saat lo berhasil lolos ke tahap User Interview, semua itu seakan tidak relevan.

User atau calon atasan lo tidak peduli dengan sertifikat lo. Mereka tidak peduli grammar lo sempurna atau tidak. Mereka hanya peduli satu hal: Apakah lo bisa bikin perusahaan untung atau tidak.

Di artikel ini, gw bakal bedah kasus ini sampai ke akarnya. Kita akan bicara blak-blakan soal ketimpangan ekspektasi antara HR dan User. Kita juga akan bahas fenomena “Jebakan Bahasa Inggris” yang sering membunuh karir talenta teknis berbakat di Indonesia.

Kalau lo kandidat yang lelah ditolak karena administrasi, atau lo Hiring Manager yang pusing dapat tim yang cuma jago teori, lo wajib baca ini sampai habis.

Mengapa HRD Tergila-gila dengan Sertifikasi Performance Marketer?

Mari kita mulai dengan membedah isi kepala HRD atau rekruter. Kita tidak bisa menyalahkan mereka 100% karena mereka bekerja dengan KPI dan metrics yang berbeda dengan tim teknis.

HRD seringkali adalah generalis. Mereka mengurus rekrutmen untuk berbagai divisi. Mulai dari tim Sales, Finance, Legal, sampai Marketing. Mustahil bagi mereka untuk paham detail teknis setiap posisi secara mendalam.

1. Sertifikat Sebagai Validasi Instan

Karena ketidaktahuan teknis tersebut, HR butuh alat bantu. Mereka butuh filter cepat untuk menyaring ratusan CV yang masuk setiap hari.

Di mata HR, Sertifikasi Performance Marketer adalah validasi paling aman.

  • “Kandidat ini punya sertifikat Google Ads Search? Oke, berarti minimal dia tahu cara pasang iklan.”
  • “Kandidat ini lulusan bootcamp ternama? Oke, berarti dia sudah diajarkan dasar-dasarnya.”

Ini adalah jalan pintas. HR tidak bisa menilai apakah struktur campaign lo efisien atau tidak. Mereka tidak bisa menilai apakah logika bidding lo masuk akal. Jadi, mereka menilai apa yang bisa mereka lihat secara visual di CV: Logo dan Sertifikat.

2. Tekanan Administrasi dan ATS

Banyak perusahaan besar menggunakan Applicant Tracking System (ATS). Sistem ini bekerja berdasarkan kata kunci atau keyword.

User biasanya memberikan job description ke HR yang isinya: “Mencari Performance Marketer yang paham Google Ads dan Meta Ads.”

HR kemudian menerjemahkan ini ke dalam sistem ATS sebagai syarat wajib: “Must have Google Ads Certification & Meta Blueprint Certification.”

Akibatnya, kalau CV lo tidak mencantumkan kata kunci “Certified”, sistem otomatis membuang CV lo ke tong sampah digital sebelum sempat dibaca manusia. Ini adalah kegagalan sistemik yang sering membuat talenta berbakat gugur sebelum bertanding.

Sudut Pandang User: Realita di Medan Perang

Sekarang kita pindah ke kursi di seberang meja. Kursi User. Ini bisa jadi Head of Marketing, Digital Lead, atau Business Owner yang nantinya akan jadi atasan langsung lo.

Dinamika di sini berubah 180 derajat. User adalah praktisi. Mereka tahu persis kondisi lapangan.

User tahu bahwa ujian sertifikasi Google Ads itu soal pilihan ganda. Mereka tahu kunci jawabannya bertebaran di internet. Lo bisa lulus ujian itu dalam waktu 15 menit sambil makan gorengan kalau lo niat googling kunci jawabannya.

Maka dari itu, sertifikat punya nilai yang sangat kecil di mata User.

Apa yang User Cari?

User tidak mencari orang yang jago menghafal definisi “Apa itu Quality Score”. User mencari orang yang punya logika problem solving.

Saat lo duduk interview dengan User, mereka tidak akan bertanya:

“Tunjukkan sertifikat Meta Blueprint kamu.”

Mereka akan bertanya hal-hal yang menyakitkan seperti ini:

  • “Gimana cara lo mengatasi Signal Loss akibat iOS14 di akun yang lo pegang sebelumnya?”
  • “Kalau budget harian kita naik 3x lipat besok, strategi apa yang lo pake biar CPA (Cost Per Acquisition) nggak meledak?”
  • “Jelasin struktur testing kreatif lo. Gimana cara lo nentuin winning creative selain dari CTR?”

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak ada di materi sertifikasi dasar. Ini adalah pertanyaan yang lahir dari pengalaman berdarah-darah mengelola uang asli di dashboard iklan.

User butuh bukti kalau lo bisa berpikir kritis. Sertifikat hanyalah tanda lo pernah baca materi, bukan tanda lo bisa perang.

Tragedi “Grammar Wizard” vs “Technical Diamond”

Ini adalah poin paling krusial yang sering bikin kita semua jengkel. Fenomena ini nyata dan terjadi di banyak perusahaan di Jakarta dan kota besar lainnya.

Banyak HRD menjadikan kemampuan Bahasa Inggris aktif (Speaking) sebagai syarat mutlak di awal. Ini seringkali dijadikan filter pertama interview.

“Tell me about yourself.”

“What are your strengths and weaknesses?”

Pertanyaan standar ini sering menjadi kuburan bagi para teknisi handal.

Kasus Si “Technical Diamond”

Bayangkan ada kandidat bernama Budi. Budi ini orangnya pendiam. Bahasa Inggrisnya pasif, dia mengerti kalau baca dokumentasi teknis, tapi gagap kalau harus conversation cepat.

Tapi secara teknis, Budi ini monster.

  • Dia paham cara pasang Conversion API (CAPI) manual tanpa plugin.
  • Dia bisa analisa data GA4 dan bikin custom report di Looker Studio.
  • Logika optimasinya tajam. Dia tahu kapan harus kill adset dan kapan harus scale.

Tapi saat interview pertama dengan HR, Budi gugup. Dia terbata-bata menjawab pertanyaan “Why do you want to join us?” dalam bahasa Inggris.

HR langsung mencoret Budi. Catatan di sistem: “Komunikasi kurang baik. English level: Basic.”

Budi gagal. Perusahaan kehilangan aset berharga.

Kasus Si “Grammar Wizard”

Lalu datang kandidat kedua, sebut saja Rara. Rara bahasa Inggrisnya cas-cis-cus. Aksennya bagus, grammar-nya sempurna. Dia punya deretan sertifikat lengkap di LinkedIn.

HR terpesona. “Wah, ini kandidat high quality,” pikir HR. Rara diloloskan ke User. User yang melihat CV Rara yang rapi dan sertifikat lengkap, setuju untuk merekrut.

Bencana terjadi di bulan pertama kerja.

User menyuruh Rara untuk setup campaign konversi. Ternyata Rara bingung.

  • Dia tidak tahu cara verifikasi domain.
  • Dia salah pasang event pixel sehingga data purchase tidak terekam.
  • Saat iklan boncos, dia cuma bisa bilang “Mungkin marketnya lagi sepi, Pak.”

User pusing. Ternyata Rara cuma jago teori dan jago ngomong. Secara teknis, dia nol besar. User akhirnya harus turun tangan membereskan kekacauan Rara. User komplain ke HR, tapi HR bingung, “Lho, kan Inggrisnya bagus dan sertifikatnya lengkap?”

Kapan Bahasa Inggris Itu Benar-Benar Wajib?

Kita harus adil. Ada kondisi di mana bahasa Inggris aktif itu non-negosiasi.

  1. Global Agency/MNC: Kalau tim lo basisnya di Singapura, US, atau Eropa, dan lo harus meeting harian pakai bahasa Inggris, maka wajar syarat ini ada.
  2. Target Market Luar: Kalau lo jualan produk ke pasar US atau UK, lo harus paham bahasa dan budaya mereka buat bikin copywriting.

Tapi masalahnya, banyak perusahaan lokal yang target pasarnya orang Indonesia, timnya orang Indonesia, kliennya orang Indonesia, tapi gaya-gayaan minta syarat Full English Proficiency saat rekrutmen.

Kalau User lo orang lokal, tim lo orang lokal, dan lo jualan ke orang lokal, memprioritaskan grammar di atas kemampuan teknis adalah bunuh diri bisnis.

User lebih butuh orang yang bisa nurunin CPA (Cost Per Action) daripada orang yang bisa bedain Past Tense dan Present Perfect Tense.

Deep Dive: Skill Pengganti Sertifikat yang Dicari User

Kalau lo memutuskan untuk tidak terlalu pusing dengan sertifikat, apa yang harus lo tawarkan ke User? Lo harus punya “Senjata Pengganti”. Ini adalah skill nyata yang bikin mata User berbinar saat interview.

1. Advanced Tracking & Attribution

Di era pasca-iOS14 dan cookie-less future, kemampuan tracking adalah raja. User sangat butuh orang yang bisa memastikan data akurat.

  • Server-Side Tracking: Paham cara kerja CAPI Meta atau Google Enhanced Conversions.
  • Google Tag Manager (GTM): Bukan cuma pasang tag dasar, tapi paham datalayer, custom event, dan trigger yang kompleks.
  • GA4 Mastery: Bisa bikin exploration report yang menjawab pertanyaan bisnis, bukan cuma liat traffic umum.

Kalau lo bisa bilang ke User: “Pak, saya bisa benerin diskrepansi data antara Dashboard Ads dan Backend Bapak dengan implementasi CAPI via GTM Server-Side,” lo otomatis terlihat lebih seksi daripada kandidat yang cuma bawa sertifikat Google Ads Fundamentals.

2. Strategic Bidding & Budgeting

User mencari orang yang paham uang. Tunjukkan lo paham logika finansial iklan.

  • Kapan pakai Cost Cap vs Lowest Cost?
  • Gimana cara ngitung Break Even ROAS?
  • Gimana strategi scaling yang aman buat cashflow perusahaan?

Ceritakan pengalaman lo mengelola budget. “Dulu saya pegang budget 50 juta per bulan. Awalnya ROAS 2.0, saya ubah strategi bidding ke Target CPA, hasilnya volume turun dikit tapi profit naik 40%.” Ini cerita yang User mau dengar.

3. Creative Strategy & Analysis

Zaman sekarang, targeting di platform iklan sudah sangat otomatis (broad targeting). Kunci kemenangan ada di konten kreatif.

  • Lo harus bisa baca data kreatif. “Video A hook-nya bagus (3-second view tinggi), tapi retention-nya jelek. Orang kabur di detik ke-5. Kita harus benerin storytelling-nya.”
  • Lo harus bisa kasih brief ke tim desain atau video editor. Bukan cuma minta “Bikin video bagus”, tapi “Bikin video dengan angle masalah X, solusi Y, dan CTA Z.”

4. Copywriting & Psikologi Konsumen

Sertifikat tidak mengajarkan empati. Lo harus paham siapa audiens lo.

  • Apa rasa sakit (pain point) mereka?
  • Apa mimpi (desire) mereka?
  • Bahasa apa yang mereka pakai sehari-hari?

Kemampuan menerjemahkan psikologi ini ke dalam iklan adalah skill mahal yang jarang dimiliki lulusan sertifikasi murni.

Jadi, Kapan Sertifikat Itu Berguna?

Gw tidak bilang sertifikat itu sampah total. Ada momen di mana kertas itu berguna. Jangan langsung buang sertifikat lo.

1. Masuk Agensi Digital (Agency Requirement)

Kalau lo melamar ke Digital Agency, sertifikat seringkali wajib. Kenapa? Karena Agensi butuh status “Google Partner” atau “Meta Business Partner” untuk jualan ke klien. Syarat status ini adalah sekian persen karyawan harus bersertifikat. Di sini, sertifikat lo adalah aset jualan agensi.

2. Validasi Dasar untuk Pemula

Kalau lo fresh graduate atau career switcher yang belum punya portofolio, sertifikat adalah satu-satunya bukti lo punya minat. Ini sinyal ke perusahaan: “Saya belum pengalaman, tapi saya serius belajar sampai lulus ujian ini.”

3. Cek Ombak Kosa Kata

Sertifikasi bagus untuk memastikan lo paham istilah standar industri. Jangan sampai lo ngaku expert tapi nggak tahu bedanya CPC (Cost Per Click) dan CPM (Cost Per Mille). Sertifikat menjamin lo bicara “bahasa” yang sama dengan tim.

Panduan Taktis untuk Kandidat: Menembus Tembok HR

Oke, kita sudah tahu masalahnya: HR jadi gatekeeper yang kaku, dan lo mungkin punya kelemahan di bahasa Inggris atau administrasi. Gimana cara mainnya?

1. Optimasi CV untuk Mesin dan Mata HR (Keyword Stuffing Etis)

Karena HR dan ATS cari keyword, kasih mereka apa yang mereka mau.

  • Tulis semua hard skill lo. Pakai istilah industri: “Google Ads”, “Facebook Ads”, “SEM”, “SEO”, “Google Analytics 4”.
  • Kalau lo punya sertifikat gratisan (HubSpot, Google Skillshop), cantumkan saja di bagian bawah CV. Biar kalau di-scan mesin, lo lolos.
  • Jangan cuma tulis tugas, tulis hasil. “Mengelola iklan” (Salah). “Mengelola budget 50jt/bulan dengan ROAS 4.0” (Benar). Angka adalah bahasa universal yang dipahami HR.

2. Siapkan “Contekan” Bahasa Inggris

Kalau kelemahan lo di speaking, lo bisa “mengakali” interview awal HR. Pertanyaan HR itu biasanya standar dan berulang.

  • Hafalkan jawaban untuk “Tell me about yourself”.
  • Hafalkan jawaban untuk pengalaman kerja terakhir.
  • Hafalkan jawaban untuk kelebihan dan kekurangan.

Latih ini di depan cermin sampai terdengar natural. Tujuannya satu: Lolos dari HR. Jangan coba-coba improvisasi kalau grammar lo lemah. Main aman, pakai skrip hafalan.

Begitu lo lolos ke tahap User (yang kemungkinan besar orang Indonesia), lo bisa lebih santai. Lo bahkan bisa minta izin di awal:

“Pak/Bu, untuk penjelasan teknis strategi yang kompleks, apakah saya boleh pakai Bahasa Indonesia campur istilah teknis Inggris? Supaya lebih detail dan akurat penjelasannya.”

90% User akan bilang “Boleh banget, santai aja.” User butuh kejelasan, bukan tes TOEFL.

3. Jalur Belakang: Direct Message ke User

Ini strategi gerilya. Kalau lo yakin skill lo jago tapi selalu gagal di seleksi administrasi, cari siapa User-nya di LinkedIn. Cari “Head of Marketing” atau “Performance Lead” di perusahaan tujuan lo.

Kirim pesan sopan (bisa pakai fitur Connect Note):

“Halo Mas/Mbak [Nama], saya lihat [Perusahaan] lagi cari Performance Marketer. Saya punya pengalaman handle kasus serupa di industri ini dan berhasil naikin ROAS 30%. Saya khawatir CV saya tertimbun di HR. Boleh saya kirim portofolio langsung ke Mas/Mbak? Terima kasih.”

User suka orang yang punya inisiatif. Kalau portofolio lo bagus, User bisa langsung bilang ke HR: “Panggil orang ini, saya mau ketemu.” Lo otomatis skip antrian admin.

Pesan Keras untuk Hiring Manager dan User

Bagian ini khusus buat lo yang ada di posisi User, Leader, atau Business Owner. Kalau lo merasa susah banget cari tim performance marketing yang kompeten, coba cek proses rekrutmen lo sendiri.

Jangan-jangan, “berlian” yang lo cari itu sudah dibuang sama tim HR lo di tahap awal.

1. Audit Proses Screening HR

Coba duduk bareng tim rekrutmen lo. Cek CV siapa saja yang mereka tolak. Lo mungkin kaget melihat banyak kandidat potensial dengan pengalaman teknis bagus ditolak cuma karena format CV-nya jelek atau bahasa Inggrisnya pasif.

Kasih arahan jelas ke HR:

“Tolong jangan buang kandidat yang punya pengalaman teknis relevan atau portofolio kuat, meskipun bahasa Inggrisnya kaku atau nggak punya sertifikat.”

2. Ganti Tes Bahasa dengan Tes Logika

Daripada buang waktu tes conversation di awal, mending kasih studi kasus sederhana.

“Ini data kampanye bulan lalu. CPC naik, tapi Conversion Rate turun. Apa hipotesis kamu dan apa yang akan kamu lakukan?”

Jawaban dari pertanyaan ini jauh lebih berharga daripada sertifikat manapun.

3. Turunkan Ego Bahasa

Kecuali posisi ini memang untuk client-facing dengan bule, setop mewajibkan bahasa Inggris sempurna. Di dunia teknis coding dan marketing, banyak orang jenius yang introvert dan nggak jago ngomong Inggris. Lo mau profit atau lo mau tim debat bahasa Inggris? Prioritas harus jelas.

Kesimpulan: Eksekusi di Atas Administrasi

Kembali ke pertanyaan judul: Wajib atau Nggak?

Sertifikasi Performance Marketer itu Wajib kalau tujuan lo adalah:

  1. Lolos filter administrasi HR yang kaku.
  2. Bekerja di Agensi yang butuh status Partner.
  3. Mempercantik profil LinkedIn.

Tapi sertifikasi itu Nggak Penting kalau tujuan lo adalah:

  1. Menunjukkan kompetensi kerja nyata di depan User.
  2. Meningkatkan profit bisnis.
  3. Menyelesaikan masalah teknis di lapangan.

Realita di lapangan memang kadang kejam dan birokratis. HR memegang kunci gerbang, tapi User yang memegang keputusan akhir. Sebagai kandidat, lo harus pintar bermain di dua kaki. Penuhi syarat admin HR secukupnya (optimasi keyword CV, hafalan interview dasar), tapi habiskan 80% energi lo untuk mengasah skill teknis, logika bisnis, dan analisis data.

Karena pada akhirnya, saat lo sudah duduk di meja kerja, tidak ada yang tanya nilai ujian lo berapa. Yang ditanya adalah: “Hari ini kita profit berapa?”

Topan
Topan
🧑🏻‍💻 Tech & Performance Marketing Enthusiast

Subscribe to our magazine

━ more like this

Strategi Hook Model Nir Eyal untuk Membangun Produk yang Bikin User Candu

Lo pasti pernah nanya kenapa user bisa menghabiskan waktu berjam-jam scrolling di TikTok atau Instagram tanpa sadar. Jawabannya bukan cuma kebetulan atau "konten menarik"...

Pilihan Karir Performance Marketer 2025 Antara WFH, WFO atau WFA

Dilema lo soal milih model kerja sebagai Performance Marketer di tahun 2025 itu valid banget. Kita ngeliat pasar kerja yang lagi kepecah dua. Satu...

WordPress 6.9: Update Terbaru & Keuntungan Buat Blogger

Baru banget rilis (2 Desember 2025), WordPress 6.9 bawa fitur kolaborasi ala Google Docs dan blok baru yang bikin plugin tambahan jadi nggak relevan...

Konflik Data Analytics vs Data Transaksi Database dalam Performance Marketing

Lo pasti pernah ada di posisi nyesek ini. Lo buka dashboard MMP kayak Adjust, AppsFlyer, atau Branch. Angkanya hijau semua. CPI murah, conversion rate...

Google Ads vs Meta Ads Bedah Tuntas Algoritma dan Simulasi Budget Biar Lo Gak Salah Bakar Duit

Perdebatan soal Google Ads vs Meta Ads ini gak ada matinya di kalangan pebisnis dan digital marketer. Seringkali pertanyaan klasiknya adalah mana yang lebih...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!