Gw perhatiin ada satu fenomena menarik di industri digital marketing menjelang akhir tahun 2025 ini.
Kalau lo lagi hiring atau sekadar scrolling di LinkedIn, lo pasti sadar kalau talent performance marketing mobile apps itu jumlahnya makin dikit.
Rasanya kayak nyari barang limited edition.
Banyak yang jago pasang iklan di Meta atau Google, tapi begitu ditanya soal Mobile Measurement Partner (MMP) atau strategi SKAdNetwork, banyak yang mundur teratur.
Pertanyaannya: Apakah ini cuma tren sesaat di bulan November ini?
Atau justru ini sinyal keras kalau lo harus mulai mikirin ulang spesialisasi karir lo ke depan?
Artikel ini bakal bedah tuntas kenapa niche ini jadi “barang mahal”, perbandingannya dengan niche lain, dan apakah ini jalan ninjaman buat karir lo.
Kenapa Talent Mobile Apps Jadi Sangat Langka?
Kelangkaan ini bukan kebetulan. Ada tembok penghalang alias barrier to entry yang tinggi banget buat masuk ke dunia mobile marketing.
Ini bukan sekadar soal bisa setup campaign, tapi soal pemahaman teknis yang mendalam.
1. Kompleksitas teknis yang bikin pusing
Jujur aja, ekosistem mobile apps itu jauh lebih ribet dibanding web atau e-commerce biasa.
Kalau di web lo cukup pasang Pixel atau GTM (Google Tag Manager), di apps lo harus berurusan sama SDK (Software Development Kit).
Lo harus ngerti cara integrasi MMP kayak AppsFlyer, Adjust, atau Branch biar data yang masuk itu akurat.
Salah konfigurasi sedikit aja, data atribusi lo bakal misleading dan budget marketing lo bakal boncos tanpa ketahuan penyebabnya.
2. Mimpi buruk privasi data
Sejak Apple nerapin App Tracking Transparency (ATT) dan Google makin ketat sama Privacy Sandbox, main di mobile apps itu rasanya kayak main game di mode hard.
Lo nggak bisa lagi sembarangan nge-track user ID secara granular kayak zaman 2020 ke bawah.
Talent yang dicari sekarang adalah mereka yang bisa baca data agregat dan ngambil keputusan dari situ.
Kemampuan analisis tingkat lanjut inilah yang bikin talent mobile apps jadi spesies langka.
3. Ekosistem yang terpecah (Fragmentasi)
Lo harus paham kalau user iOS dan Android itu punya behavior yang beda banget.
Strategi bidding, materi kreatif, sampai optimasi halaman store (ASO) harus dibedain per OS.
Kebanyakan marketer nyerah duluan karena males belajar sedalam ini, akhirnya supply talent nggak sebanding sama demand dari perusahaan teknologi.
Battle of Niches: E-commerce, Web, atau Apps?
Ini pertanyaan yang sering banget masuk ke DM gw: “Mending gw fokus di mana biar karir aman dan gaji kenceng?”
Jawabannya balik lagi ke seberapa berani lo ambil risiko dan seberapa suka lo sama hal teknis.
Mari kita bandingkan tiga raksasa niche ini.
1. E-commerce (Marketplace & D2C)
Ini adalah kolam yang paling rame. Hampir semua lulusan bootcamp digital marketing pasti diajarin dasar-dasar e-commerce.
- Plus: Lowongan kerjanya banyak banget, dari brand lokal sampai unicorn.
- Minus: Kompetisinya sadis. Lo harus siap perang harga (gaji) karena talent pool-nya luas banget.
Kalau lo suka fast-paced environment dan main ribuan SKU, ini tempat lo.
2. Website & Lead Generation
Biasanya ini mainan anak B2B atau jasa. Fokusnya adalah nyari leads berkualitas lewat landing page.
- Plus: Lebih stabil dan main logika funnel.
- Minus: Kadang ngebosenin dan scaling-nya nggak seagresif apps atau e-commerce.
Ini zona nyaman buat banyak marketer yang jago copywriting dan funnel building.
3. Mobile Apps (The Special One)
Nah, ini dia primadonanya di tahun 2025. Karena susah dipelajari, saingan lo dikit banget.
- Plus: Perusahaan berani bayar mahal (premium salary). Lo dianggap aset strategis, bukan cuma tukang pasang iklan.
- Minus: Pusing di awal. Lo harus terus belajar karena teknologinya berubah cepet banget.
Di sini, lo nggak cuma mikirin install, tapi gimana caranya user nggak uninstall besoknya.
Apakah Niche Mobile Apps Bakal Bertahan Lama?
Jawaban singkatnya: Iya, dan bakal makin dominan.
Coba lo cek screen time lo sendiri sekarang.
Berapa jam lo habisin waktu di browser (Chrome/Safari) dibanding di dalam aplikasi (Instagram, TikTok, Mobile Banking, Game)?
Data global konsisten nunjukin kalau time spent in-app itu mendominasi total penggunaan internet manusia.
Brand-brand besar mulai sadar kalau punya user di aplikasi itu jauh lebih sticky (setia) dibanding user web yang gampang kabur.
Aplikasi memungkinkan fitur push notification, personalisasi data, dan pengalaman pengguna yang lebih mulus.
Selama manusia masih nempel sama smartphone, kebutuhan akan performance marketing mobile apps bakal terus ada dan makin krusial.
Strategi Pivot: Gimana Cara Masuk ke Niche Ini?
Kalau lo merasa tertantang buat jadi bagian dari talent “Limited Edition” ini, jangan cuma modal nekat.
Lo perlu strategi belajar yang taktis biar nggak kaget sama teknisnya.
1. Akraban sama MMP (Mobile Measurement Partner)
Lupain dulu dashboard FB Ads atau Google Ads sejenak. Mulai pelajari logika kerja AppsFlyer atau Adjust.
Pahami istilah kayak attribution window, in-app events, deep linking, dan fraud prevention.
Kalau lo bisa ngerti alur data dari klik iklan sampai user melakukan pembelian di dalam aplikasi, lo udah satu langkah di depan marketer lain.
2. Jangan lupakan ASO (App Store Optimization)
Performance marketing di apps itu nggak bisa berdiri sendiri tanpa organik.
Iklan lo bisa aja bagus banget, tapi kalau halaman App Store atau Play Store lo berantakan, konversinya bakal anjlok.
Pelajari gimana cara riset keyword buat aplikasi, A/B testing ikon, dan optimasi screenshot biar user tertarik buat download.
3. Fokus ke metrik pasca-install (Post-Install Metrics)
Ini kesalahan pemula yang paling sering gw temuin: terlalu bangga sama jumlah install yang banyak dan murah.
Ingat, install doang nggak ngehasilin duit kalau user-nya langsung churn (kabur).
Mulai biasakan diri ngomongin Retention Rate, ARPPU (Average Revenue Per Paying User), dan ROAS.
Lo harus punya mindset bahwa tugas lo bukan cuma nyari user, tapi nyari user yang profitable.
Kesimpulan: Ambil Posisi Sebelum Pasarnya Jenuh
Kelangkaan talent di sektor performance marketing mobile apps ini adalah peluang emas buat lo.
Mumpung supply talent-nya masih dikit dan demand-nya lagi tinggi-tingginya, ini saat yang tepat buat upgrade skill.
Memang kurva belajarnya terjal dan bikin pusing. Tapi justru karena susah itulah bayarannya mahal.
Kalau semua orang bisa ngerjainnya dengan mudah, harganya pasti murah, kan?
Saran gw, kalau lo mau karir yang future-proof dan menantang, mulailah selami dunia mobile marketing sekarang.
Jadilah talent limited edition yang dicari-cari headhunter, bukan yang sibuk nyari kerjaan sana-sini.
Disclaimer Penulis:
Tulisan ini dibuat berdasarkan opini, pengamatan, dan pengalaman pribadi gw selama proses hiring dan bekerja di industri ini sepanjang tahun 2025. Dinamika pasar talent tentu bisa berbeda-beda tergantung lokasi dan konteks industri masing-masing. Jadikan artikel ini sebagai insight tambahan dan referensi diskusi, bukan kebenaran mutlak.
