28.3 C
Bogor

Strategi Programmatic Ads Mulai dari Budget Hingga Tracking Konversi

Date:

Share:

Programmatic ads adalah sebuah metode pembelian inventori iklan digital secara otomatis dan real time yang memanfaatkan data audiens untuk menargetkan pengguna yang tepat di waktu yang tepat. Kalau selama ini lo cuma berkutat di dashboard Meta Ads Manager atau Google Ads, lo sebenarnya baru menyentuh sebagian kecil dari total trafik internet dunia. Masih ada “Open Web” yang luasnya luar biasa dan berisi inventori premium yang tidak bisa lo akses lewat platform standar tersebut. Artikel ini bakal ngebahas teknis sedalam mungkin tentang ekosistem ini supaya budget marketing lo gak boncos sia-sia.

Banyak marketer lokal yang ragu masuk ke ranah ini karena terdengar rumit dan mahal. Padahal kalau strateginya benar, channel ini bisa jadi mesin growth utama ketika channel lain sudah jenuh atau saturated. Gw bakal bedah semuanya mulai dari pemilihan vendor DSP lokal, hitungan budget yang masuk akal, sampai teknis tracking yang sering bikin pusing tim data lo.

Alur Kerja Programmatic Ads yang Sebenarnya

Banyak yang mendefinisikan programmatic ads sesederhana “beli iklan otomatis”. Padahal di balik layar, terjadi proses lelang super cepat dalam hitungan milidetik yang melibatkan banyak entitas teknologi. Lo harus paham alur ini biar nggak gampang dikibulin vendor soal tech fee atau media cost.

Ketika seorang user membuka aplikasi berita atau situs web, publisher atau pemilik situs tersebut mengirimkan sinyal ke SSP (Supply Side Platform) bahwa ada slot iklan kosong yang siap diisi. SSP kemudian melemparkan tawaran ini ke Ad Exchange. Di sisi lain, lo sebagai advertiser menggunakan DSP (Demand Side Platform) sudah menyetel target audiens spesifik, misalnya “Pria usia 25-35 tahun yang suka otomotif”.

Dalam waktu kurang dari 100 milidetik, DSP lo akan mengevaluasi apakah user yang sedang membuka situs berita tadi cocok dengan kriteria lo. Kalau cocok, algoritma DSP akan mengajukan bidding atau penawaran harga secara otomatis. Jika tawaran lo adalah yang tertinggi di antara advertiser lain, iklan lo akan menang dan langsung tayang di layar user tersebut.

Proses ini terjadi miliaran kali sehari. Keunggulan utamanya adalah efisiensi data. Lo nggak lagi beli “slot iklan di Detik.com” secara buta (bulk buying), tapi lo beli “User A yang kebetulan lagi baca Detik.com”. Jadi kalau User A pindah ke aplikasi game cacing sekalipun, iklan lo bisa tetap mengejar dia di sana karena basis pembeliannya adalah audiens, bukan sekadar placement.

Budget Minimum dan Realita Biaya Masuk

Masuk ke isu paling sensitif yaitu duit. Berapa sebenernya duit yang harus lo siapin buat main di kolam ini? Jawabannya nggak bisa semurah lo tes iklan di Facebook yang bisa mulai dari 50 ribu perak.

Ekosistem programmatic membutuhkan data yang masif supaya algoritma machine learning di DSP bisa belajar. Mesin butuh ribuan impression dan ratusan event buat tahu pola user mana yang bagus buat bisnis lo. Kalau budget lo kekecilan, mesinnya “bodoh” terus karena kurang asupan data.

Untuk pasar Indonesia, commitment budget yang biasanya diminta oleh vendor managed service berkisar antara 15 juta sampai 50 juta rupiah per campaign atau per bulan. Angka ini bukan angka sembarangan. Ini adalah angka aman supaya campaign lo bisa melewati fase learning dalam 1-2 minggu pertama dan mulai stabil di minggu berikutnya.

Struktur biayanya juga beda sama Google Ads. Di programmatic, budget lo bakal kepotong beberapa pos. Ada Media Cost (biaya bayar ke publisher), Tech Fee (biaya sewa teknologi DSP), Data Fee (kalau lo pakai data pihak ketiga), dan Agency Fee (kalau lo pakai jasa agency). Jadi kalau lo taruh 50 juta, mungkin yang benar-benar jadi iklan tayang (Working Media) sekitar 70-80 persennya. Lo harus transparan soal ini di awal sama vendor lo biar nggak kaget lihat report.

Kalau lo nekat masuk dengan budget di bawah 10 juta, biasanya vendor besar bakal nolak halus atau melempar lo ke tim junior mereka. Hasilnya seringkali nggak maksimal karena bidding power lo lemah dan sampel data terlalu sedikit buat optimasi. Jadi mending kumpulin budget dulu sampai siap tempur di angka yang wajar.

Peta Vendor Programmatic Pilihan Client Indonesia

Memilih partner DSP di Indonesia itu gampang-gampang susah. Ada pemain global yang teknologinya canggih banget tapi butuh budget dolar yang besar, ada juga pemain lokal atau regional yang lebih fleksibel soal pembayaran dan support. Berikut beberapa nama yang sering jadi andalan client lokal.

Pertama ada Google DV360 atau Display & Video 360. Ini adalah rajanya DSP buat korporat besar. Keunggulan utamanya adalah integrasi data. Kalau perusahaan lo udah pakai Google Analytics 360, Youtube Ads, dan ekosistem Google lainnya, DV360 adalah pilihan paling logis karena datanya bisa ngalir mulus antar platform. Lo bisa retargeting orang yang nonton Youtube lo lewat banner di situs berita dengan sangat presisi. Tapi barrier entry-nya tinggi dan biasanya harus lewat reseller resmi di Indonesia.

Kedua adalah The Trade Desk atau sering disingkat TTD. Ini adalah DSP independen terbesar di dunia yang jadi favorit banyak agency multinasional di Jakarta. TTD terkenal punya jangkauan inventory Open Web yang luar biasa luas dan punya teknologi Unified ID 2.0 yang digadang-gadang sebagai solusi masa depan pengganti cookie. Kalau lo mau lepas dari ketergantungan Google, TTD adalah opsi paling powerful.

Ketiga ada Eskimi. Vendor ini sangat populer di kalangan brand lokal mid-level sampai enterprise karena mereka punya keunikan di data telekomunikasi (telco data) dan fitur kreatif. Eskimi punya tim in-house yang bisa bantuin lo bikin banner interaktif lucu-lucu yang bisa digeser atau digoyang (rich media). Buat brand yang nggak punya tim desain canggih, Eskimi sangat membantu.

Keempat ada RTB House dan Criteo. Dua nama ini adalah spesialis dynamic retargeting buat e-commerce. Kalau tujuan hidup lo cuma mau ngejar orang yang udah masukin barang ke keranjang (add to cart) tapi nggak jadi bayar, mereka jagonya. Algoritma mereka fokus banget di bottom funnel buat maksa konversi terjadi. Biasanya mereka berani main model bisnis berbasis komisi atau CPA kalau volume trafik lo udah gede banget.

Terakhir ada MGID atau Taboola kalau lo lebih suka format native ads. Iklan yang bentuknya kayak “Artikel Rekomendasi” di bawah berita itu biasanya mainan mereka. Ini efektif buat produk yang butuh edukasi panjang lewat landing page artikel (advertorial).

Dominasi CPM dalam Struktur Biaya Programmatic

Lo harus ubah pola pikir kalau masuk ke ranah ini. Jangan tanya “Berapa CPC-nya?” karena mata uang utama di bursa RTB adalah CPM atau Cost Per Mille. Lo bayar per seribu tayangan iklan, bukan per klik.

Kenapa jarang ada CPC? Karena publisher (pemilik website) menjual ruang visual di situs mereka. Mereka nggak peduli iklan lo diklik atau nggak, yang penting ruang itu sudah terisi. Kalau lo maksa minta CPC di programmatic, biasanya DSP akan mengakalinya dengan algoritma prediksi CTR. DSP akan menaikkan harga bid CPM lo setinggi langit cuma ke user yang “hobi klik” sembarangan, yang kualitasnya seringkali rendah. Akibatnya, lo dapat klik murah tapi nggak ada konversi.

Dengan model CPM, jangkauan lo bakal jauh lebih luas. Lo bisa menjangkau user premium yang mungkin jarang klik iklan tapi punya daya beli tinggi. Mesin DSP modern sekarang juga sudah punya fitur Optimized CPM atau oCPM. Cara kerjanya begini: Lo tetap bayar basis CPM ke publisher, tapi mesin DSP akan memilah inventory mana yang punya probabilitas konversi tinggi.

Contoh kasusnya begini. Lo punya target CPI (Cost Per Install) aplikasi sebesar Rp 15.000. Lo set target itu di dashboard DSP. Mesin DSP akan menghitung secara mundur. Kalau rata-rata conversion rate lo 1%, berarti mesin butuh 100 klik buat dapat 1 install. Dari data historis, mesin tahu dia butuh nampilin iklan 10.000 kali buat dapat 100 klik itu. Maka mesin akan mengatur bid CPM sedemikian rupa supaya biaya total 10.000 impresi itu nggak bikin biaya per install lo meledak di atas Rp 15.000.

Jadi walau lo bayar CPM, tujuannya tetap performa. Ini jauh lebih sehat buat skalabilitas campaign lo daripada maksa beli klik di kolam yang inventori-nya terbatas. Kecuali lo pakai vendor khusus performance mobile DSP, kadang mereka berani kasih garansi CPI, tapi biasanya harganya sudah di-mark up tinggi untuk menutupi risiko mereka.

Mekanisme Tracking dari Impression hingga Konversi via MMP

Bagian ini yang paling krusial dan sering bikin tim marketing berantem sama tim data. Gimana caranya kita tahu kalau banner yang muncul di aplikasi A benar-benar menghasilkan penjualan di aplikasi B? Di sinilah peran Mobile Measurement Partner atau MMP seperti Adjust, AppsFlyer, Branch, atau Kochava sangat vital.

Tanpa MMP, programmatic ads lo buta. Lo nggak bisa cuma andalin Google Analytics biasa buat tracking instalasi aplikasi dari sumber pihak ketiga dengan akurat. Alurnya bekerja dengan sistem postback dan pencocokan ID perangkat.

Pertama, saat iklan lo tayang (impression) di layar HP user, DSP akan menangkap ID perangkat user tersebut. Di Android namanya GAID (Google Advertising ID), di iOS namanya IDFA (Identifier for Advertisers) — tentu saja kalau user mengizinkan tracking di iOS. DSP mencatat: “Device ID ABC12345 melihat iklan Kreatif X pada jam 10.00 pagi”. Data ini dikirim atau disimpan sebagai log.

Kedua, user tersebut mungkin nggak langsung klik. Dia lanjut aktivitas lain. Tapi sore harinya, dia ingat produk lo dan langsung cari di App Store lalu download.

Ketiga, saat user membuka aplikasi lo untuk pertama kali (First Open), SDK MMP yang tertanam di dalam aplikasi lo akan menyala. SDK ini langsung membaca Device ID HP tersebut. SDK lapor ke server MMP: “Ada user baru nih, Device ID-nya ABC12345, masuk jam 17.00 sore”.

Keempat, server MMP melakukan pencocokan atau attribution matching. Dia cek database log impresi dan klik dari seluruh ad network. MMP nemu data dari DSP tadi pagi: “Eh, Device ID ABC12345 ini tadi pagi jam 10.00 dilaporkan lihat iklan dari DSP Vendor Z”.

Kelima, karena cocok, MMP memberikan label “Attributed to Vendor Z” untuk user tersebut. MMP kemudian mengirim sinyal balik (postback) ke server DSP Vendor Z untuk ngasih tahu: “Hei, iklan lo tadi pagi berhasil bikin konversi nih”. Sinyal ini yang dipakai DSP buat belajar mencari user serupa di masa depan (Lookalike Audience).

Tantangan terbesar saat ini ada di iOS dengan fitur ATT (App Tracking Transparency). Banyak user menolak dilacak IDFA-nya. MMP dan DSP sekarang menggunakan metode Probabilistic Modeling untuk menjembatani ini. Mereka melihat pola lain seperti tipe HP, versi OS, alamat IP, dan sinyal-sinyal non-pribadi lainnya untuk menebak dengan tingkat akurasi tinggi bahwa user yang lihat iklan dan user yang install adalah orang yang sama, meskipun tanpa Device ID yang pasti.

Mengupas Tuntas View Through Attribution

Ini adalah topik yang paling sering jadi perdebatan panas di meja meeting bulanan. View Through Attribution atau VTA adalah metode atribusi di mana kredit konversi diberikan kepada iklan yang hanya dilihat (impression) oleh user, tanpa user tersebut melakukan klik pada iklan itu.

Banyak klien merasa VTA ini curang atau klaim sepihak dari vendor. Argumen klien biasanya: “User itu emang udah mau beli kok secara organik, kebetulan aja iklan lo muncul, jadi lo nge-klaim itu hasil kerja lo”. Istilah kerennya Cannibalization atau Organic Poaching.

Tapi lo harus lihat dari sisi funnel marketing yang utuh. Perjalanan user atau user journey itu jarang sekali linear (Lihat Iklan -> Klik -> Beli). Kebanyakan user modern itu multi-touchpoint. Mereka lihat iklan lo di pagi hari saat di kereta (Awareness), lihat lagi di jam makan siang (Consideration), baru malamnya mereka cari sendiri di Google atau langsung buka aplikasi lo buat beli (Action).

Tanpa iklan yang dilihat pagi dan siang tadi, belum tentu ingatan tentang produk lo muncul di malam harinya. Kalau lo cuma mengukur keberhasilan dari Klik (Click-Through Attribution atau CTA), lo menihilkan peran visual dan branding yang dibangun oleh banner atau video lo. Lo cuma menghargai aksi terakhir, bukan proses yang memicu aksi tersebut. Programmatic itu kuat di visual, beda sama Search Ads yang kuat di intensi.

Jalan tengah terbaik buat masalah ini adalah mengatur Attribution Window yang ketat dan masuk akal. Standar industri yang sehat biasanya menggunakan 7 Day Click dan 1 Day View.

Artinya, kalau user install aplikasi dalam rentang waktu 7 hari setelah dia klik iklan, vendor dapat kredit. Tapi untuk view (cuma lihat iklan), vendor cuma dapat kredit kalau user install dalam waktu 24 jam setelah lihat iklan tersebut. Lewat dari 24 jam, impresi itu dianggap sudah basi dan tidak punya pengaruh lagi terhadap keputusan user.

Jangan mau kalau vendor minta View Window sampai 7 hari atau bahkan 30 hari. Itu sama saja lo sedekah performa ke mereka. Dengan window 24 jam, lo memastikan bahwa ingatan visual user masih segar saat mereka memutuskan buat konversi. Ini adalah win-win solution buat menghargai eksposur iklan tanpa mengorbankan data organik lo terlalu banyak.

Perbedaan Mendasar Programmatic dengan Google dan Meta Ads

Banyak yang bingung, kenapa harus ribet pakai DSP kalau Google Ads dan Meta Ads (Facebook/Instagram) udah gampang banget dipake? Jawabannya ada di jangkauan dan kepemilikan data. Google dan Meta itu disebut sebagai Walled Gardens atau taman bertembok. Ekosistem mereka tertutup.

Ketika lo iklan di Meta, lo cuma bisa jangkau orang pas mereka lagi buka Facebook atau Instagram. Lo nggak bisa ngejar mereka pas mereka lagi baca berita di portal lokal, lagi main game, atau lagi dengerin Spotify (kecuali network terbatas mereka). Dan yang paling penting, data audiens di Meta nggak bisa lo bawa keluar. Lo nggak bisa ambil ID orang yang nge-like postingan lo buat dipakai nargetin mereka di platform lain.

Programmatic Ads bekerja di Open Web. Jangkauannya adalah hampir seluruh internet di luar tembok Google dan Meta. Lo bisa menayangkan iklan di situs berita premium seperti Kompas, Detik, CNN Indonesia, sampai ke aplikasi-aplikasi niche spesifik.

Selain itu, transparansi data di programmatic jauh lebih tinggi. Di dashboard DSP, lo bisa lihat breakdown biayanya sampai ke tulang-tulangnya. Berapa rupiah yang masuk ke kantong publisher, berapa yang buat bayar server, berapa yang buat data. Di Google atau Meta, lo cuma dikasih satu harga akhir tanpa tahu potongan di belakangnya berapa.

Fleksibilitas kreatif juga jadi pembeda utama. Di programmatic, lo bisa jalanin format High Impact seperti Skin Ads (iklan yang membungkus background website), iklan video interaktif, audio ads di platform streaming musik, sampai DOOH (Digital Out of Home) atau videotron digital di pinggir jalan yang bisa dibeli secara programatis. Google Display Network (GDN) punya keterbatasan format yang kaku, biasanya cuma banner kotak standar.

Waktu yang Tepat Menggunakan Channel Programmatic

Jangan buru-buru pindah ke programmatic kalau fundamental lo belum kuat. Channel ini bukan pengganti Google atau Meta, tapi pelengkap atau accelerator. Ada kondisi-kondisi spesifik kapan lo wajib mulai lirik strategi ini.

Kondisi pertama adalah saat lo butuh Scale Up dan audiens di Meta/Google sudah jenuh. Kalau lo merasa CPC di Facebook makin mahal tapi jumlah konversi stagnan (cost per acquisition naik terus), itu tandanya lo sudah memeras kolam yang sama berulang-ulang. Lo butuh kolam baru. Programmatic membuka pintu ke jutaan inventory baru yang belum tersentuh iklan lo di sosial media.

Kondisi kedua adalah saat lo butuh penargetan B2B atau Niche yang sangat spesifik. Misalnya lo jualan software HRD. Di Facebook, nargetin “HR Manager” itu seringkali nggak akurat karena banyak orang ngasal isi profil kerjaan. Di programmatic, lo bisa beli data pihak ketiga (3rd party data) dari provider data profesional yang memverifikasi profil profesional, atau menargetkan contextual di situs-situs berita bisnis spesifik yang dibaca para bos.

Kondisi ketiga adalah untuk Advanced Retargeting. Kalau lo punya aplikasi e-commerce besar, lo butuh engine yang bisa mengejar user secara agresif di mana saja. User yang ninggalin barang di keranjang mungkin jarang buka Facebook, tapi dia sering baca berita bola. Programmatic memungkinkan lo mengejar dia sampai ke situs berita bola itu dengan menampilkan gambar produk spesifik yang dia tinggalkan tadi.

Terakhir, gunakan programmatic kalau Brand Safety adalah prioritas mati. Buat brand besar, muncul di sebelah konten hoax atau konten kebencian di medsos itu bencana PR. Di programmatic, lo bisa pakai fitur Pre-bid filtering dan Allowlist untuk memastikan iklan lo cuma muncul di situs-situs yang terpercaya dan aman bagi citra brand lo. Kontrol ini jauh lebih sulit dilakukan di platform media sosial yang kontennya user-generated.

Jadi, jangan anggap programmatic ads sebagai momok yang rumit. Anggap ini sebagai alat bedah presisi buat marketing lo. Kalau lo paham cara kerjanya, berani invest budget yang cukup, dan disiplin soal tracking MMP, channel ini bakal jadi senjata rahasia lo buat ninggalin kompetitor yang masih sibuk perang harga di media sosial.

Topan
Topan
🧑🏻‍💻 Tech & Performance Marketing Enthusiast

Subscribe to our magazine

━ more like this

Strategi Hook Model Nir Eyal untuk Membangun Produk yang Bikin User Candu

Lo pasti pernah nanya kenapa user bisa menghabiskan waktu berjam-jam scrolling di TikTok atau Instagram tanpa sadar. Jawabannya bukan cuma kebetulan atau "konten menarik"...

Pilihan Karir Performance Marketer 2025 Antara WFH, WFO atau WFA

Dilema lo soal milih model kerja sebagai Performance Marketer di tahun 2025 itu valid banget. Kita ngeliat pasar kerja yang lagi kepecah dua. Satu...

WordPress 6.9: Update Terbaru & Keuntungan Buat Blogger

Baru banget rilis (2 Desember 2025), WordPress 6.9 bawa fitur kolaborasi ala Google Docs dan blok baru yang bikin plugin tambahan jadi nggak relevan...

Konflik Data Analytics vs Data Transaksi Database dalam Performance Marketing

Lo pasti pernah ada di posisi nyesek ini. Lo buka dashboard MMP kayak Adjust, AppsFlyer, atau Branch. Angkanya hijau semua. CPI murah, conversion rate...

Google Ads vs Meta Ads Bedah Tuntas Algoritma dan Simulasi Budget Biar Lo Gak Salah Bakar Duit

Perdebatan soal Google Ads vs Meta Ads ini gak ada matinya di kalangan pebisnis dan digital marketer. Seringkali pertanyaan klasiknya adalah mana yang lebih...

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini
Captcha verification failed!
Skor pengguna captcha gagal. silahkan hubungi kami!